|
Di antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah
istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan
dosa, yang besar maupun kecil?
Para ahli suluk berbeda pendapat dalam
masalah ini: Di antara mereka ada yang berpendapat: istighfar itu akan
bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk
bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata: istighfarnya tersebut
tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang
lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing.
Aku adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar
yang hanya diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang
beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam
berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan
maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya. Ia meminta kepada Allah SWT sebagai
seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan
permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa,
permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya
mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya menyelimuti semua orang. Ketaatan
manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat mereka tidak mengurangi
kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar dengan semangat dan
ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan sia-sia. Di antara
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah diungkapkan dari al Qur'an dan hadits
tentang keutamaan istighfar, ia ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara
mutlak tanpa pembatas, sehingga mencakup orang yang masih tetap menjalankan
kemaksiatan dan pelanggaran lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya
dengan batasan: "sambil tidak terus menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan
yang dapat menghapus keburukan, apalagi jika disertai dengan permohonan yang
sangat.
Imam Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan
suatu kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia
melakukan ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih
utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan
dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan
dengan amal hati. Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syeikhnya,
Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca
al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah
kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk
melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu untuk berdzikir, jangan gunakan untuk
keburukan , atau berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji --dan janji Allah SWT adalah pasti--
bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal seorang, dan balasan bagi orang yang
berbuat kebajikan. Seperti firman Allah SWT:
"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan
amalan (nya) dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar
dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS.
an-Nisa: 40]
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara
inheren ia adalah amal yang baik.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi
dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar
dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah
seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang
rajihnya ia adalah hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi
[Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan
lafazhnya adalah:
"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak
berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus
melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia
berkata: yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang
beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama
dari hadits itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits
Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat
dipahami sebagai ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan
saja, sambil memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak
pula dengan merajuk dan menangis.
Seperti itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar tanpa
meninggalkan diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong! Dan
perkataan yang lain: aku ber istighfar kepada Allah SWT dari istighfarku! Ini
dapat dipahami bahwa istighfarnya itu semata dengan ucapan lidahnya saja,
tanpa diiringi dengan gerakan hati yang merupakan rekan dalam amal itu.
Sedangkan perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada
istighfar lagi yang banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan lidah
yang sedang berdzikir kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang lalai. Dan
kelalaian hati seperti itu butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu
sendiri, bukan dari gerakan lidahnya. Dengan demikian, orang yang berdiam
saja, tidak ber istighfar dengan lidahnya, dengan demikian membutuhkan dua
macam istighfar, bukan hanya satu istighfar!
Seperti inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan
orang yang mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan ini:
"kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin! Karena ini
adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami secara sederhana.
Oleh karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan ketaatan dan perbuatan
buruk yang amat kecil sekalipun.
Imam Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari
tiga hal.
- Menyembunyikan
ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau
cela ketaatan itu sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak
ridha Allah SWT.
- Menyembunyikan
kemarahan-Nya dari kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah
engkau menganggap ringan suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena
barangkali di situ terletak kemarahan-Nya. Dan
- Dia menyembunyikan
wali-Nya dari sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau
menganggap rendah seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah
wali Allah.
Sahl bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala keadaan
pasti membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki keadaannya,
yaitu dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu yang diputuskan
dan ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada Allah SWT, hendaklah
ia berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku itu". Dan jika ia
telah membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia berkata: "wahai
Rabbku ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat hendaknlah
ia berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan
kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia
berkata: "wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin:
janganlah engkau
menghina ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya,
dan kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya.
Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya
mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata: apa
manfaatnya satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan satu baju? Ia
tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu-benang
dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari
atom-atom kecil, maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati
adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya
Ulumuddin, Kitab Taubat, dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata:
jangan engkau katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku bertaubat
kepadaNya". Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak benar-benar
menjalankannya. Namun katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku dan
berilah hamba taubat". An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak
senang mengatakan "aku ber istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya
sebagai kebohongan, an Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna
"astaghfirullah" adalah aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah
kebohongan. Ia berkata: untuk menolak pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu
Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang
tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur
(makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepadanya: niscaya diampunkan segenap
dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Tirmizi serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar
berkata: ini adalah dalam lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang
tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya)
sedangkan kata "aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan
oleh Rabi' bahwa itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan
taubat namun ia tidak menjalankan taubat itu".
Dalam berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti
kembali, karena dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan taubat
dan mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi' ingin
menggabungkan dua lafazh, tidak sekadar kata "astaghfirullah"
sehingga seluruh perkataannya adalah benar. Wallahu a'lam.
Al Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin
as-Subki sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan
lidah, atau dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama itu
akan mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam, dan ia
dapat dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik sekali,
dan yang ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa
hingga terdapat taubat yang sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan
tidak juga meninggalkannya itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada
taubat dalam dirinya. Hingga ia berkata: yang aku katakan bahwa makna
istighfar adalah berlainan dengan makna taubat, adalah jika ditinjau
berdasarkan redaksional. Namun menurut banyak ulama, lafazh
"astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat. Jika ada orang yang
seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan taubat. Kemudian ia
berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa taubat tidak sempurna
kecuali dengan istighfar, dengan dalil firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan.
[Fathul Bari: 13/ 472] |
0 komentar:
Posting Komentar