Bismillah..............
Berbagi inspirasi..^_^
Tentang
Seorang Hamba yang Memakai Akalnya Untuk Berfikir, Bukan Untuk Kecewa:
Perjalanan Melly Menjadi Mahasiswi Terbaik UIN Meski Hanya Memiliki Satu
Kaki.
Oleh Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
“Dan
kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakuta...n, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira
kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2] : 155)
Airmata
para dosen jatuh. Standing applause di ruang teater Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) membahana. Di antara mereka sampai
tidak ada yang sanggup berdiri.
Tiada kebanggaan dimiliki
seorang dosen dan keluarga menyaksikan ujian hidup sesosok mahasiswi
dengan predikat Indeks Prestasi (IP) tertinggi meski selama
bertahun-tahun dihantam keterbatasan.
Sejarah telah
tercatat. Melly dianugerahi alumni terbaik FIDKOM 2010 pada saat
pelepasan Wisudawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kendati selama ini
hidup dengan satu kaki. Sebelah kakinya harus diamputasi setelah
penyakit kanker tulang menyerangnya di pertengahan kuliah.
Ya
meski begitu, Melly tidak mau menyerah pada kenyataan. Ia mendapat
gelar cumlaude jauh di atas para mahasiswa lainnya, termasuk mahasiswa
yang kedua kakinya masih lengkap.
Melly akhirnya keluar
setelah memberi pidato sambutannya di ruangan teater Profesor Aqib
Suminto. Ia dipapah dengan kursi roda. Memang tidak ada lagi gerak
enerjiknya, tapi semua mahasiswa UIN mengelu-elukan namanya.
Lebih
dari Ahmadinejad ketika mengunjungi UIN Jakarta 2008 silam. Sedangkan
beberapa dosen masih terdiam, hanya lelehan air mata turun dari
keikhlasan hati melepas Melly dari UIN. Melly tersenyum, tangannya
terkepal.
Di hatinya, ia puas berhasil membuktikan kepada
semua orang bahwa jarak antara keterbatasan diri dan kecintaan terhadap
ilmu lebih tipis dari kulit bawang!
Perjalanan Awal Melly
Nama
aslinya adalah Nurmeilita. Tipikal mahasiswi berkerudung lebar yang
tidak percaya bahwa hidup tidak bisa ditaklukan. Bahwa satu-satunya cara
menaklukan ketakutan adalah dengan menghadapinya.
Sayyid
Quthb berkelamin feminim yang menyatakan lebih baik mati daripada
menyerah pada keterbatasan. Namanya kini tertanam pada seluruh mahasiswa
FIDKOM. Bahwa Allah, Kita, dan Arti Sebuah Perjuangan adalah
keniscayaan.
Alumni salah satu SMA Negeri favorit di
Bekasi ini memang unik. Kalau banyak jebolan SMA memilih untuk kuliah di
kampus umum, Melly lebih memilih kuliah di UIN. Itupun bukan di
Fakultas Kedokteran, Sains, dan MIPA.
Ia memilih jalur
Ilmu Dakwah dengan jurusan Konseling Islam. Dengan akal yang masih
polos, banyak orang bertanya padanya, “Mau cari mati dengan gaya apa
seorang siswa lulusan SMA masuk ke Fakultas Keislaman di UIN yang ketat
dalam studi keagamaan. Modal Rohis kuliah di sini belum cukup. Hasan Al
Banna bisa menjadi Sartre di UIN.”
Maklum kala itu UIN
Jakarta mendapat kekhawatiran tingkat tinggi setelah para mahasiswa
jurusan Akidah Filsafat di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melakukan
penistaan terhadap Allah.
Kala itu stigma kampus kami
berubah dari Institut Agama Islam Negeri (sebelum menjadi UIN)
diplesetkan menjadi “Ingkar Allah Ingkar Nabi”. Cibiran itu terasa
betul. Lebih pedas dari cabai rawit sekalipun.
Melly kali
pertama masuk UIN Jakarta pada tahun 2004. Memulai karir sebagai
mahasiswa semester satu seperti pada umumnya: polos, manut kata senior
dan pasrah mengikuti Program Pengenalan Studi dan Almamater (Propesa
atau Ospek sebagaimana kita mengenalnya).
Saat tiba
giliran bagi tiap mahasiswa baru memberikan pandangan tentang jurusan
barunya di UIN, Melly tampil memberikan beberapa patah kata. Dari situ
orang sudah berkesimpulan bahwa Melly bukan orang sembarangan.
Gaya
bicaranya bukan seperti anak SMA. Ia sudah berani membeberkan
bahasa-bahasa ilmiah di tiap kalimat pembukanya. Tampaknya ia sadar, ia
bukan lagi anak remaja.
Detik-detik Menghadapi Ujian
Setelah
berjalan satu tahun kedepan, Melly berkembang menjadi mahasiswi UIN
yang berbeda. Kecintaannya terhadap ilmu membawanya menjadi mahasiswi
yang melebihi usianya.
Melly seperti bukan mahasiswi UIN
berumuran 19 tahun pada umumnya. Kecintaannya terhadap ilmu membuatnya
sering terlihat nongkrong di perpustakaan ketimbang menghabiskan waktu
di bioskop. Mengutak-atik isi buku tinimbang larut dalam pergaulan semu.
Nilai
semester awalnya selalu di atas 3,5. Berkat kecerdasannya, sebagai
presiden BEM (Sistem di UIN mengharuskan menyebut pemimpin BEM, dengan
sebutan presiden bukan ketua) penulis mengamanahkannya untuk mengisi pos
Departemen Keilmuan.
Sebuah departemen yang tentunya
terhitung danger bagi tiap-tiap BEM di UIN. Departemen ini harus aktif
mengadakan seminar, kuliah umum, pelatihan, hingga diskusi-diskusi
mingguan yang temanya pun tidaklah ringan.
Selain tema
keIslaman, beberapa kali kajian ini juga membahas tentang Pendekatan
Rasional Emotif, Behavioris, hingga Logoterapi. Kami ingin mahasiswa
memiliki framework seimbang antara kuat dengan spirit keislaman tapi
tidak awam jika suatu saat dihantam oleh gagasan Barat. Dan Melly
menikmati itu.
Ia memang sangat menyukai diskusi dengan
nalar kritisnya yang tajam. Maklum Melly besar di Lembaga Dakwah Kampus,
ia memiliki framework Islam yang cukup kuat untuk tidak begitu saja
menerima pandangan di luar Islam.
Waktu berganti waktu
hingga kemudian Melly mulai mengidap penyakit misterius. Teman-temannya
tidak lagi melihatnya di kampus. Aura tidak sedap mulai meliputi
perasaan kami semua. Kabar angin tidak begitu jelas memberitahu di mana
keberadaan Melly saat itu.
Hingga kemudian kami mendapat
informasi, Melly kini menderita kelumpuhan dalam arti sebenarnya. Ya
mahasiswi penikmat panjat gunung itu terbaring tidak bisa kemana-mana.
Kakinya
terdiam tak dapat bergerak, sedangkan di dalam kerudungnya kerontokan
mulai meliputi mahkotanya satu per satu. Mata kami tercengang mendengar
berita menyakitkan itu.
Kawan-kawan kami pun kemudian
bergegas mengunjunginya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
Pusat. Setelah membuka pintu kamar, rekan-rekan sekelas Melly menutup
mulut kecilnya.
Mereka jatuh haru berderai air mata
melihat sosok gadis enerjik dan periang tersebut telah terkulai lemah.
Sebagian civitas akademika mahasiswa Konseling Islam tidak mampu berkata
apa-apa. Jiwa kami terbungkam.
Melly yang kami kenal
sebagai mahasiswi solehah sedang diberi ujian mahadahsyat oleh Allah.
Sampai-sampai kami beranggapan inikah akhir dari perjalanan hidup Melly?
Melihat beratnya ujian yang ia alami.
Ketegaran Seorang Pecinta Ilmu Yang Pantang Menyerah
Uniknya,
keharuan dari para sahabat dengan cepat ia tepis. Melly dengan gaya
tomboynya menyadarkan kawan-kawan untuk tidak bersusah payah menangisi
dirinya. Melly adalah tipikal wanita tegar, ia benci air mata.
Apalagi
sengaja disuguhkan untuk dirinya. Bahkan berkali-kali Melly harus
menyadarkan temannya bahwa ia tidak seburuk yang kami perkirakan. Walau
Melly sadar betul kankernya bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu. “Tapi
sumpah, Mel baik-baik aja kok.” ucapnya menyiratkan ia tidak ingin kita
semua larut dalam kesedihan panjang.
Di tengah
keterbatasan itu, ada cita-cita yang tidak ikut lumpuh seperti kakinya.
Sekalipun kondisinya amat lemah, namun kecintaannya terhadap ilmu
membuatnya tetap ingin melanjutkan kuliah.
Meski pada
akhirnya, ia harus siap menganggung beban: bolak-balik ke perpus, naik
lift dengan kursi roda, mengejar mata kuliah meski harus bertarung
dengan harapan! Itu belum dihitung rasa sakitnya. Namun bukan Melly jika
menyerah pada kenyataan. Ia telah berikrar untuk tidak menangis.
Keinginan
terkuatnya adalah memberikan kado manis kepada Allah dan keluarga
tercinta tentang makna terindah seorang pecinta ilmu. Meski tak berapa
lama lagi ia hanya memiliki satu kaki. Beberapa kali ia sempat
mendiskusikan skripsinya dengan penulis. Kala itu penulis sendiri sudah
dalam tingkat akhir menyelesaikan kuliah.
Penulis memang
memiliki pengalaman diskusi panjang dengan Melly. Menurut penulis, Melly
adalah salah satu mahasiswi yang cukup berani hadir untuk diskusi
dengan mahasiswa yang lebih senior.
Tidak hanya di situ,
sebelumnya Melly sadar. Ia harus diuji kembali oleh beberapa nilai
kuliahnya yang belum ia ambil di semester tujuh. Termasuk mata kuliah
lainnya yang mesti mengulang di semester awal. Hingga jika ditotal
keseluruhan ada tujuh mata kuliah yang harus ia ambil.
Bayangkan
di tengah kondisi kaki tak bisa digerakkan, ia tetap rajin ke kampus
menyelesaikan segala kekurangannya. Dan itu benar-benar dilakukannya
lebih dari ikhlas, meski jarak Bekasi-Ciputat terlalu jauh bagi seorang
perempuan yang diuji dengan keterbatasan.
Namun sekali
lagi, kesabaran dan kekuatan memupuskan segala ketakutannya. Melly yakin
Allah akan memperlakukannya dengan baik, jika ia selalu berusaha dan
berdoa, meski ia kini berkursi roda.
Seiring berjalannya
waktu, ujian Allah betul-betul menyentuh titik terlemah tubuhnya. Melly
harus menerima kenyataan pahit bahwa dokter pengasuhnya di RSCM memberi
tahu sang keluarga bahwa kaki si buah hati harus segera diamputasi.
Dengan
penuh ketegaran, Melly memasrahkan dirinya kepada Allah. Aktifis dakwah
kampus ini bersiap hidup dengan kaki pincang. Kanker bisa jadi adalah
keladi yang menggagalkan kehidupannya. Tapi Melly paham betul bahwa kita
harus selalu berbaik sangka kepada Allah. Melly boleh kecewa, tapi
tidak untuk kecewa kepada Allah.
Setelah operasi selesai
dilaksanakan, Melly sadar dari pembiusannya. Dengan kekuatan mentalnya,
ia memberanikan diri mengangkat kepala untuk melihat kakinya. Melly
tersenyum meratapi sebelah kakinya telah menghilang.
Namun
ia tetap tidak mau menyerah. Bagaimanapun hidup harus terus berlanjut.
Tak berapa lama ia kemudian mengerjakan segala tugas kuliah di
pembaringan RSCM. Ya tujuh mata kuliah yang belum sempat usai ia ambil,
karena keburu menjalani operasi. Semuanya berjalan beriringan di tengah
rintihannya menahan rasa sakit pasca operasi.
Setelah
semua mata kuliahnya selesai, ujian kembali datang. Ia ingat masih ada
satu lagi hutangnya kepada kampus, yakni membuat skripsi. Subhanallah
lagi-lagi Melly tak putus asa.
Ia sama sekali tak berniat
melempar handuk lalu memilih berkutat dengan rasa sakitnya. Bayangkan
Melly pun juga tidak memelas kepada pihak kampus agar ia dibebaskan dari
skripsi. Inilah yang melatarbelakangi penulis tidak menyesal memberinya
posisi Departemen Keilmuan kepadanya saat penulis menjadi Presiden BEM.
Bahkan
di BEM, Melly juga ikut membantu bidang departemen yang lain. Dalam
acara training motivasi, safari dakwah, mabit, pelatihan, ta’aruf
mahasiswa baru, dan sebagainya. Melly selalu hadir di situ.
Ibarat
kata Melly selalu memberi semangat jika BEM kami “kurang darah”. Sampai
di situ, kami sama sekali tidak terfikir tentang bakal ujian apa yang
akan menimpanya. Tidak ada satupun tanda-tanda mengarah kesana.
Kado Terindah Dari Allah
Akhirnya
dengan kerja kerasnya selama ini, Melly berhasil menyelesaikan skripsi
dengan baik. Semuanya dilakukan di kasur pembaringan, lengkap dengan
rasa sakit yang terus menggerogoti tubunya. Keletihan pasca operasi dan
proses menjalani Kemoterapi tiap harinya.
Melly kemudian
menjalani Sidang Munaqosyah. Di hadapan para penguji, ia menjelaskan
tentang penelitiannya. Dosen tidak merasakan betapa di tengah
presentasinya, Melly sebenarnya menahan rasakan sakitnya. Senyum Melly
membuat orang lupa bahwa ia masih menjalani Kemoterapi secara intens di
RSCM.
Semua keluarga hanya bisa takjub dalam hati betapa
Melly begitu trengginas menjawab pertanyaan penguji. Mereka bangga bukan
karena Melly adalah mahasiswi pintar, mereka juga bukan bangga karena
sang buah hati adalah bidadari cinta yang berhasil bertahan di tengah
kondisi tak berperi, tapi mereka bangga telah dikaruniai seorang buah
hati yang kuat imannya dan tak pernah sekalipun terlontar dari mulutnya
tentang arti kekecewaannya kepada Allah.
Sampai pada waktu
setelah selesai sidang, ia tidak sadar bahwa nilai skripsinya tergolong
tinggi. Baginya, ia sudah cukup bersyukur dengan bisa menyelesaikan
skripsi ini. Namun sapa nyana, logika seorang Melly masih jauh di bawah
rencana Allah.
Kejutan itu datang, saat ia diwisuda. Melly
mendapat kabar gembira bahwa ia telah berhasil mencatatkan dirinya
sebagai mahasiswa dengan indeks prestasi tertinggi di fakultas
(cumlaude) dan berhak atas gelar alumni terbaik.
Ya
mahasiswi satu-satunya dalam sejarah UIN yang mendapatkan gelar
mahasiswa terbaik meski hanya memiliki satu buah kaki. Satu-satunya
mahasiswa yang tidak memberi ruang bagi air mata untuk menyerah.
Melly
adalah bukti bahwa tauhid bukan sekedar kata kunci, tapi juga kata
kerja. Kerja nyata untuk membangun harapan kepada Allah setelah diuji
dengan pemaknaan.
Saya mengucapkan tasbih berkali-kali.
Bagaimana mungkin orang yang saya kenal hidup dengan keterbatatsan,
meski bolak-balik RSCM-Ciputat untuk Kemotrapi, kendati menahan sakit
dalam mengerjakan skripsi, harus tetap semangat walau harapan diguncang
kenyataan.
Melly bisa memiliki IP cumlaude dan menduduki
peringkat IP tertinggi Se-FIDKOM serta yakin Allah di belakang ini
semua. Melly adalah kata. Fragmentasi keterpecahan rasa takut untuk
menjadi energi. Jangan pernah katakan tidak pada keterbatasan.
Ketika
saya mengkonfirmasi kepada Ketua Jurusan apakah gelar terbaik itu
hanyalah kado dari Dekanat atas jerih payahnya selama ini. Ketua Jurusan
itu menampik dengan keras. Ia mengatakan bahwa Melly lulus murni, tanpa
ada bantuan keringanan nilai atas simpati dosen meski secuil.
Subhanallah. Inikah janji Allah atas seorang pecinta ilmu yang
mengerahkan segala daya ikhtiarnya hanya kepada Allah.
Kita
mungkin kemudian mencoba bertanya, bagaimana dengan masa depan Melly
seterusnya. Sebagai seorang wanita, adalah lumrah bahwa mungkin cinta
adalah kata yang jauh jika melihat kondisinya.
Saat itu
saya membuka HP dan mengirim pesan selamat kepadanya. Saya kemudian
malah terkejut saat diberi tahu bahwa ada bonus dari Allah untuk
dirinya. Bahwa ternyata ia telah menikah sesaat setelah dirinya
diwisuda.
Seorang dosen dari IPB telah berhasil memikat
hatinya. Subhanallah dengan kondisi seperti ini, Melly masih sanggup
menikah dan yakin bahwa keadilan Allah adalah nyata.
Saya
kemudian bertanya-tanya inikah yang dijanjikan Allah tentang orang-orang
yang bersabar, tentang kisah orang-orang yang memakai akalnya untuk
berfikir, bukan untuk kecewa.
Betatapun Hancurnya Kita, Yakinlah Allah Tetap Bersama Kita.
Ikhwah
fillah, ada satu fase dalam hidup kita, betapa kekecewaan bisa
menghadapkan kita pada jalan kenistaan. Kadang ujian dan cobaan Allah
menjadi buah bibir kita atas sumpah serapah kita kepada Allahuta’ala.
Ikhwah
fillah, sadarlah, Allah akan menguji kita di titik terlemah kita. Allah
akan menyentuh di bagian terpenting yang menjadi ciri ketidakberdayaan
kita. Apakah itu kehilangan anggota tubuh kita, kehilangan fungsi tubuh
kita, hingga kehilangan daya tubuh kita.
Namun yakinlah
ikhwah jika itu tidak dapat kita tanggulangi dengan hati jernih, bukan
tidak mungkin hal itu akan berdampak pada konten yang lebih dalam lagi.
Dimulai dengan kehilangan iman kita, kehilangan fungsi iman kita, hingga
kehilangan daya iman kita. Namun yakinlah ikhwah, sekalipun Allah
menguji di titik terlemah kita, Allah tidak akan tega membiarkan
hambaNya sampai betul-betul menjadi lemah.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh [2] : 286)
Ikhwah
fillah, sadarkah kita, bahwa Allah sebenarnya punya rencana indah di
tengah keterbatasan kita. Buat apa kita kecewa, mengeluh, membenci, toh
mengeluh dan kecewa tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kita.
Yang
terbaik bagi seorang mukmin ialah selalu beranggapan bahwa ujian pasti
akan ada jalan keluarnya, baik yang bersifat jangka pendek maupun
panjang.
Salah satu bentuk solusi jangka pendek adalah bahwa kita selalu bersabar dan mendirikan shalat ketika kecewa hadir menyapa kita.
Kita
bisa membaca Qur’an dan mentadabburinya, belajar bagaimana perjuangan
Rasulullah SAW saat getir-getir menyapanya dalam perjuangan hidup ini.
Ingatlah ikhwatifillah sebaik-baiknya kententraman dimulai dari
bagaimana kita selalu setia untuk mengingat Allah.
“Wahai
orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al
Baqarah [2] : 153)
Sedangkan bentuk jangka panjang itu
dimulai dari bagaimana kita selalu menjauhi diri dari kemaksiatan dan
bersyukur atas nikmat Allah yang telah turun kepada diri kita. Banyaknya
maksiat akan menghalangi masuknya ilmu kedalam hati kita.
Kebeningan
hati hanya mungkin dapat ditempuh dengan memperbanyak ingatan kepada
Allah SWT. Sementara berdzikir kepada Allah tidak mungkin bisa dilakukan
tanpa ada prakondisi sebelumnya. yaitu, adanya kesiapan untuk tunduk
dan patuh kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT.
Jangan
pernah menyerah ya Ikhwah, betapapun terpuruknya kita, betatapun
hancurnya hidup kita, betapapun jauhnya harapan kita, yakinlah ada
sebuah Zat yang selalu setia menemani kita: Allohu ma’ ana!
“Maka
ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaKu
dan janganlah kamu ingkar kepadaKu.” (QS. Al Baqarah [2] : 152)
Puncak, 11 Desember 2010, Pukul 02.30.
Tulisan asli bisa dilihat di link
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150264194409796&set=a.314909159795.147953.818269795&type=1&comments&cmntid=10150264204034796&ref=notif¬if_t=comment_mention&theater